Sunday, 21 February 2016

Politik dan Perspektif dalam Islam



Urgensi Islamiyah dalam kehidupan sehari-hari
Islam merupakan agama yang bersifat “Rahmatan lil ‘alamiin” yang artinya rahmat bagi semesta alam. Tak ada agama selain Islam yang menyerukan soal kebenaran, aqidah, tata cara ibadah, bahkan sampai ekonomi perpolitikanpun Islam memberikan solusi bagi kemaslahatan umat.
Islam itu bukan agama yang dipilih-pilih, hanya bisa mengambil bagian-bagian tertentu saja yang kita mau, dan mengabaikan aktivitas lain yang kita tidak mau, tetapi islam merupakan keseluruhan kaidah dalam menjalankan roda kehidupan, sehingga lahirlah suadu peradaban yang islami secara universal.

Islam dan Politik

Apa itu politik? Setiap orang meributkannya dan hampir memperdebatkannya setiap hari seperti yang kita lihat di berbagai media, baik itu media cetak maupun media elektronik, setiap media pasti memiliki segmen khusus untuk memperbincangkan soal perpolitikan.
Menurut Prof. Laswell, politik itu adalah “Who gets what, when, how, and why” , yang artinya “siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana.” Kata “apa” yang dimaksud dalam pengertian ini mencakup seni memperoleh kekuasaan, karena politik identik dengan siapa yang berkuasa, serta pengaruh kekuasaan dalam platform kebijakan-kebijakan, yang bukan tidak mungkin kebijakan tersebut bernuansa kepentingan elit-elit tertentu.
Si penguasa dalam menjalankan kekuasaannya ini tentu memiliki segudang tanggungjawab yang besar, terutama tanggung jawab dalam menggerakkan piramida organisasi, serta pengambilan keputusan dan konsekuensi dari pengambilan keputusan bagi organisasi dan bagi pihak yang berkepentingan.
Kekuasaan identik dengan orang yang berkuasa atau kita sebut dengan si penguasa, sedangkan penguasa tidak terlepas dari figur leadership. Islam sudah mengatur dengan sangat jelas terkait leadership ini.
Allah berfirman dalam Suran Ali Imran ayat 28 <Q.S 3:28> yang artinya :
“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang beriman. Barang siapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apapun dari Allah, kecuali karena <siasat> menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri <siksa>-Nya, dan hanya kepada Allah tempat kembali.”
Berdasarkan acuan dari ayat tersebut, jelaslah islam melarang memilih pemimpin yang bukan beragama Islam. Islam menegaskan memilih pemimpin yang memang betul-betul orang islam yang beriman, dan integritas terhadap ketuhanan dan keagamaannya tidak di ragukan lagi.

Mengapa harus orang yang beriman ?
Orang yang beriman memiliki attitude yang baik, InsyaAllah dengan seijin Allah jika suatu kaum dipimpin oleh orang muslim yang keteguhan serta keomitmen terhadap islamnya kuat, akan membawa suatu kaum menuju kejayaan Islam yang hakiki. Kejayaan islam yang hakiki akan mengantarkan kepada suatu gerbang ketentraman, kerukunan, serta kesolidaritasan, karena islam menngajarkan dan menganjurkan agar berbuat baik terhadap sesama, tidak diselipkan oleh kepentingan-kepentingan pribadi, karena niat semata-mata disematkan hanya karena Allah SWT.
Memilih pemimpin yang beriman itu penting, karena kepada Allah saja dia taat, bagaimana dengan manusia? Tentu dia pasti taat, ketaatan disini memang pure yang tercermin dari sosok orang terseut, bukan taat yang diberitakan sebagai ajang pencitraan. Jika kita mau berfikir kritis, akan terlihat inner yang didapat dari hasil pencitraan dengan inner yang pure dari dalam dirinya sendiri. Kebiasaan masyarakat Indonesia yang mudah mencerna informasi secara instan oleh buaian gombal media menyebabkan ketidaktahuan apa yang terjadi sesungguhnya di balik layar, serta motif apakah dibalik pemberitaan informasi tersebut di hadapan public? Informasi menghasilkan persepsi, persepsi menghasilkan suatu pilihan. Masalahnya bagaimana jika informasi yang diberitakan itu merupakan informasi yang keliru atau tidak tepat sama sekali? Apakah masyarakat sadar akan hal itu? Hal ini akan berdampak sangat fatal. Mayoritas dari mereka akan dininabobokan oleh arus informasi yang deras serta mainstream, hingga bersifat apatis, acuh, dan bagi mereka yang kritis akan disebut fanatik. Perlulah bagi kita dalam memilih seorang pemimpin dengan mengetahui latar belakang sesungguhnya, asal  pendidikan, Riwayat keluarganya, prestasi dan pengalaman yang menunjang, tidak hanya menilai sebelah mata dari informasi yang beredar, sekalipun itu informasi manis menggiurkan, perlulah bagi kita untuk lebih cermat, sehingga pemimpin yang kita pilih merupakan pemimpin yang layak untuk diberikan amanah.

Godaan kekuasaan.
Kekuasaan itu pada hakikatnya merupakan suatu amanah yang dititipkan oleh Allah SWT untuk di jalankan sebaik-baiknya, karena kelak kekuasaan tersebut akan di pertanggungjawabkan, makanya ketika seseorang terpilih untuk berkuasa dan menjalankan kekuasaan, orang tersebut akan disumpah agar menjalankan amanah ini sebaik-baiknya.
Kekuasaan itu tanggung jawabnya besar, karena mencakup nasib hajat orang banyak, tetapi mengapa orang justru berbonfong-bondong untuk memperoleh kekuasaan dengan posisi setinggi-tingginya? Harta, tahta dan wibawa merupakan godaan dunia yang paling manis, bisa menipu sosok figuritas, bermulut manis berjanji syurga agar didukung oleh segelintir orang untuk dapat berkuasa, akan tetapi yang menjadi permasalahannya adalah ketika orang tersebut berhasil memperoleh posisi yang di inginkannya apakah dia sanggup merealisasi janji-janji syurganya tersebut seperti yang diutarakan pada masa sebelumnya? Kekuasaan bukan hanya karena harta dan tahta semata agar terlihat “wow”, tetapi juga soal keikhlasan.
Jika kekuasaan didasari harta dan tahta semata, nafsu birahi yang ada dalam diri ini akan terus meninggi. Setinggi-tingginya demi mencapai suatu kepuasan, karena nafsu manusia cenderung kepada sesuatu yang tidak bermanfaat apabila nafsu itu tidak dikontrol dengan baik, seperti yang kita kutip dari pernyataan Lord Acton sebagai berikut “Power tends to corrupt, but absolute power is absolutely” yang maknanya kurang lebih seperti begini “kekuasaan cenderung untuk korupsi, apalagi jika kekuasaan itu kekuasaan yang absolute”. Menurut pendapat saya korupsi dalam kekuasaan ini memiliki arti mengambil sesuatu yang bukan haknya, baik itu berupa uang, benda, atau hal-hal berharga lainnya melalui serangkaian cara, baik itu cara yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi ataupun cara yang dilakukan secara terang-terangan. Mengapa kekuasaan itu cenderung untuk korupsi?
Pemegang kekuasaan merupakan pengendali kebijakan, kebijakan tidak terlepas dari serangkaian realisasi untuk mewujudkan pembangunan, baik itu pembangunan yang bersifat fisik ataupun pembangunan yang bersifat non fisik. Pembangunan ini pasti dituangkan dalam sebuah proyek / program kerja, dan untuk membiayai proyek / program kerja tersebut pasti dibutuhkanlah sebuah dana. Dana untuk modus pembangunan inilah yang bisa jadi merupakan salah satu lahan penguasa untuk bisa berkorupsi, bisa dengan modus memark-up dana, suap tender, dan lain lain. Banyak cara-cara lain yang dilakukan penguasa dalam memenuhi hasrat birahinya, mencapai titik kepuasan perihal harta dan tahta seperti yang telah kita bahas sebelumnya.
Lain cerita kalau kekuasaan ini di barengi dengan rasa keikhlasan dan penuh rasa tanggung jawab, tanpa adanya sebuah “modus” yang berliku-liku. Jika pemimpin ini amanah, InsyaAllah yang dipimpinnya juga sejahtera, jika pemimpin ini ikhlas, InsyaAllah tidak akan ada modus sana sini untuk mencapai harta dan tahta, jika pemimpin ini tanggung jawab, InsyaAllah realisasi yang dihasilkan bisa maksimal.
Rasa ikhlas dan tanggung jawab ini tentunya harus di barengi dengan sikap taat pada Allah SWT, seperti pada firman Allah dalam surat Al-Baqoroh “sami’na wa ato’na” , kami dengar dan kami taat. Sikap taat ini alangkah baiknya di seimbangkan dengan rasa ihsan dalam diri, tidak hanya iman yang terucap, melainkan menjadi manusia yang muhsin yang diharapkan memberikan suri tauladan bagi yang di pimpinnya, terutama masyarakat Indonesia. Pada hakikatnya, pemimpin merupakan cerminan /  figure atas orang-orang yang di pimpinnya, jika pemimpin dapat memberikan contoh yang baik, maka secara tidak sadar merekapun akan mengikuti setiap gerak-gerik dari pemimpin itu, dan perilaku ini akan tertular kepada orang-orang lain di sekitarnya, sehingga akhlak mulia ini sangat perlu, bahkan karakter yang sangat urgent di zaman sekarang ini yang mutlak, wajib dimiliki oleh setiap pemimpin.
Pemimpin memiliki pengaruh yang sangat besar, tidak hanya bagi kelompok, namun juga bisa berpengaruh terdadap dunia, apalagi pemimpin yang erat kaitannya dengan urusan kenegaraan, misalnya presiden, menteri-menteri, dll.
Pemimpin pasti akan menemui ujian-ijian terhadap apa yang di pimpinnya, perlu juga memiliki pemimpin yang istiqomah, yang senantiasa berpegang teguh pada hokum-hukum islam, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga setiap ujian yang dilewati bisa diselesaikan dengan cara yang Islami <InsyaAllah>.
Ujian orang yang berkuasa memanglah hebat, tak jarang juga kekuasaan ini membuat menusia lupa diri oleh tipuan-tipuan yang terlena. Pemimpin harus bisa menempatkan situasi secara sinkron, cerdas dalam menganalisa masalah, serta decision making yang tepat. Alasan inilah saya menyebut tanggung jawab pemimpin ini sangat berat.
Pemimpin idaman itu pemimpin yang bukan sukses karena rekayasa pencitraan, tetapi pemimpin yang bisa mewujudkan aspirasi terhadap impian dari yang di pimpinnya <re : masyarakat Indonesia>, di barengi dengan kemampuan yang memadai, serta karakter yang berprinsip pada kaidah islam. Memang dibutuhkan pemikiran yang logis, serta profiling figure dari sumber yang kredibel untuk mendapatkan informasi yang memiliki intensitas kebenarannya tinggi, sehingga dari informasi yang di peroleh dapat disimpulkan apakah pemimpin itu merupakan pemimpin yang dapat mewujudkan impian-impian masyarakatnya atau tidak. Semua kembali pada pemikiran masing-masing.


Segala puji hanya bagi Allah. Segala bentuk kebenaran hanya milik Allah, Allah mengetahui terhadap sesuatu yang tidak kamu ketahui.


Pic Resources :



0 comments:

Post a Comment

Created By Sora Templates