Politik dan Perspektif dalam Islam
Urgensi Islamiyah
dalam kehidupan sehari-hari
Islam merupakan agama yang bersifat “Rahmatan lil ‘alamiin”
yang artinya rahmat bagi semesta alam. Tak ada agama selain Islam yang
menyerukan soal kebenaran, aqidah, tata cara ibadah, bahkan sampai ekonomi
perpolitikanpun Islam memberikan solusi bagi kemaslahatan umat.
Islam itu bukan agama yang dipilih-pilih, hanya bisa
mengambil bagian-bagian tertentu saja yang kita mau, dan mengabaikan aktivitas
lain yang kita tidak mau, tetapi islam merupakan keseluruhan kaidah dalam
menjalankan roda kehidupan, sehingga lahirlah suadu peradaban yang islami
secara universal.
Islam dan Politik
Apa itu
politik? Setiap orang meributkannya dan hampir memperdebatkannya setiap hari
seperti yang kita lihat di berbagai media, baik itu media cetak maupun media
elektronik, setiap media pasti memiliki segmen khusus untuk memperbincangkan
soal perpolitikan.
Menurut
Prof. Laswell, politik itu adalah “Who gets what, when, how, and why” , yang
artinya “siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana.” Kata “apa” yang dimaksud
dalam pengertian ini mencakup seni memperoleh kekuasaan, karena politik identik
dengan siapa yang berkuasa, serta pengaruh kekuasaan dalam platform
kebijakan-kebijakan, yang bukan tidak mungkin kebijakan tersebut bernuansa
kepentingan elit-elit tertentu.
Si penguasa
dalam menjalankan kekuasaannya ini tentu memiliki segudang tanggungjawab yang
besar, terutama tanggung jawab dalam menggerakkan piramida organisasi, serta
pengambilan keputusan dan konsekuensi dari pengambilan keputusan bagi
organisasi dan bagi pihak yang berkepentingan.
Kekuasaan
identik dengan orang yang berkuasa atau kita sebut dengan si penguasa,
sedangkan penguasa tidak terlepas dari figur leadership. Islam sudah mengatur
dengan sangat jelas terkait leadership ini.
Allah
berfirman dalam Suran Ali Imran ayat 28 <Q.S 3:28> yang artinya :
“Janganlah
orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang
beriman. Barang siapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh
apapun dari Allah, kecuali karena <siasat> menjaga diri dari sesuatu yang
kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri
<siksa>-Nya, dan hanya kepada Allah tempat kembali.”
Berdasarkan
acuan dari ayat tersebut, jelaslah islam melarang memilih pemimpin yang bukan
beragama Islam. Islam menegaskan memilih pemimpin yang memang betul-betul orang
islam yang beriman, dan integritas terhadap ketuhanan dan keagamaannya tidak di
ragukan lagi.
Mengapa harus orang yang beriman ?
Orang yang
beriman memiliki attitude yang baik, InsyaAllah dengan seijin Allah jika suatu
kaum dipimpin oleh orang muslim yang keteguhan serta keomitmen terhadap
islamnya kuat, akan membawa suatu kaum menuju kejayaan Islam yang hakiki.
Kejayaan islam yang hakiki akan mengantarkan kepada suatu gerbang ketentraman,
kerukunan, serta kesolidaritasan, karena islam menngajarkan dan menganjurkan
agar berbuat baik terhadap sesama, tidak diselipkan oleh
kepentingan-kepentingan pribadi, karena niat semata-mata disematkan hanya
karena Allah SWT.
Memilih
pemimpin yang beriman itu penting, karena kepada Allah saja dia taat, bagaimana
dengan manusia? Tentu dia pasti taat, ketaatan disini memang pure yang
tercermin dari sosok orang terseut, bukan taat yang diberitakan sebagai ajang
pencitraan. Jika kita mau berfikir kritis, akan terlihat inner yang didapat
dari hasil pencitraan dengan inner yang pure dari dalam dirinya sendiri.
Kebiasaan masyarakat Indonesia yang mudah mencerna informasi secara instan oleh
buaian gombal media menyebabkan ketidaktahuan apa yang terjadi sesungguhnya di
balik layar, serta motif apakah dibalik pemberitaan informasi tersebut di
hadapan public? Informasi menghasilkan persepsi, persepsi menghasilkan suatu
pilihan. Masalahnya bagaimana jika informasi yang diberitakan itu merupakan
informasi yang keliru atau tidak tepat sama sekali? Apakah masyarakat sadar
akan hal itu? Hal ini akan berdampak sangat fatal. Mayoritas dari mereka akan
dininabobokan oleh arus informasi yang deras serta mainstream, hingga bersifat
apatis, acuh, dan bagi mereka yang kritis akan disebut fanatik. Perlulah bagi
kita dalam memilih seorang pemimpin dengan mengetahui latar belakang
sesungguhnya, asal pendidikan, Riwayat
keluarganya, prestasi dan pengalaman yang menunjang, tidak hanya menilai
sebelah mata dari informasi yang beredar, sekalipun itu informasi manis
menggiurkan, perlulah bagi kita untuk lebih cermat, sehingga pemimpin yang kita
pilih merupakan pemimpin yang layak untuk diberikan amanah.
Godaan kekuasaan.
Kekuasaan
itu pada hakikatnya merupakan suatu amanah yang dititipkan oleh Allah SWT untuk
di jalankan sebaik-baiknya, karena kelak kekuasaan tersebut akan di
pertanggungjawabkan, makanya ketika seseorang terpilih untuk berkuasa dan
menjalankan kekuasaan, orang tersebut akan disumpah agar menjalankan amanah ini
sebaik-baiknya.
Kekuasaan
itu tanggung jawabnya besar, karena mencakup nasib hajat orang banyak, tetapi
mengapa orang justru berbonfong-bondong untuk memperoleh kekuasaan dengan
posisi setinggi-tingginya? Harta, tahta dan wibawa merupakan godaan dunia yang
paling manis, bisa menipu sosok figuritas, bermulut manis berjanji syurga agar
didukung oleh segelintir orang untuk dapat berkuasa, akan tetapi yang menjadi
permasalahannya adalah ketika orang tersebut berhasil memperoleh posisi yang di
inginkannya apakah dia sanggup merealisasi janji-janji syurganya tersebut
seperti yang diutarakan pada masa sebelumnya? Kekuasaan bukan hanya karena
harta dan tahta semata agar terlihat “wow”, tetapi juga soal keikhlasan.
Jika
kekuasaan didasari harta dan tahta semata, nafsu birahi yang ada dalam diri ini
akan terus meninggi. Setinggi-tingginya demi mencapai suatu kepuasan, karena
nafsu manusia cenderung kepada sesuatu yang tidak bermanfaat apabila nafsu itu
tidak dikontrol dengan baik, seperti yang kita kutip dari pernyataan Lord Acton
sebagai berikut “Power tends to corrupt, but absolute power is absolutely” yang
maknanya kurang lebih seperti begini “kekuasaan cenderung untuk korupsi,
apalagi jika kekuasaan itu kekuasaan yang absolute”. Menurut pendapat saya
korupsi dalam kekuasaan ini memiliki arti mengambil sesuatu yang bukan haknya,
baik itu berupa uang, benda, atau hal-hal berharga lainnya melalui serangkaian
cara, baik itu cara yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi ataupun cara yang
dilakukan secara terang-terangan. Mengapa kekuasaan itu cenderung untuk
korupsi?
Pemegang
kekuasaan merupakan pengendali kebijakan, kebijakan tidak terlepas dari
serangkaian realisasi untuk mewujudkan pembangunan, baik itu pembangunan yang bersifat
fisik ataupun pembangunan yang bersifat non fisik. Pembangunan ini pasti
dituangkan dalam sebuah proyek / program kerja, dan untuk membiayai proyek /
program kerja tersebut pasti dibutuhkanlah sebuah dana. Dana untuk modus
pembangunan inilah yang bisa jadi merupakan salah satu lahan penguasa untuk
bisa berkorupsi, bisa dengan modus memark-up dana, suap tender, dan lain lain.
Banyak cara-cara lain yang dilakukan penguasa dalam memenuhi hasrat birahinya,
mencapai titik kepuasan perihal harta dan tahta seperti yang telah kita bahas
sebelumnya.
Lain cerita
kalau kekuasaan ini di barengi dengan rasa keikhlasan dan penuh rasa tanggung
jawab, tanpa adanya sebuah “modus” yang berliku-liku. Jika pemimpin ini amanah,
InsyaAllah yang dipimpinnya juga sejahtera, jika pemimpin ini ikhlas,
InsyaAllah tidak akan ada modus sana sini untuk mencapai harta dan tahta, jika
pemimpin ini tanggung jawab, InsyaAllah realisasi yang dihasilkan bisa
maksimal.
Rasa ikhlas
dan tanggung jawab ini tentunya harus di barengi dengan sikap taat pada Allah
SWT, seperti pada firman Allah dalam surat Al-Baqoroh “sami’na wa ato’na” ,
kami dengar dan kami taat. Sikap taat ini alangkah baiknya di seimbangkan
dengan rasa ihsan dalam diri, tidak hanya iman yang terucap, melainkan menjadi
manusia yang muhsin yang diharapkan memberikan suri tauladan bagi yang di
pimpinnya, terutama masyarakat Indonesia. Pada hakikatnya, pemimpin merupakan
cerminan / figure atas orang-orang yang
di pimpinnya, jika pemimpin dapat memberikan contoh yang baik, maka secara
tidak sadar merekapun akan mengikuti setiap gerak-gerik dari pemimpin itu, dan
perilaku ini akan tertular kepada orang-orang lain di sekitarnya, sehingga
akhlak mulia ini sangat perlu, bahkan karakter yang sangat urgent di zaman
sekarang ini yang mutlak, wajib dimiliki oleh setiap pemimpin.
Pemimpin
memiliki pengaruh yang sangat besar, tidak hanya bagi kelompok, namun juga bisa
berpengaruh terdadap dunia, apalagi pemimpin yang erat kaitannya dengan urusan
kenegaraan, misalnya presiden, menteri-menteri, dll.
Pemimpin
pasti akan menemui ujian-ijian terhadap apa yang di pimpinnya, perlu juga
memiliki pemimpin yang istiqomah, yang senantiasa berpegang teguh pada
hokum-hukum islam, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga setiap ujian yang
dilewati bisa diselesaikan dengan cara yang Islami <InsyaAllah>.
Ujian orang
yang berkuasa memanglah hebat, tak jarang juga kekuasaan ini membuat menusia
lupa diri oleh tipuan-tipuan yang terlena. Pemimpin harus bisa menempatkan
situasi secara sinkron, cerdas dalam menganalisa masalah, serta decision making
yang tepat. Alasan inilah saya menyebut tanggung jawab pemimpin ini sangat
berat.
Pemimpin
idaman itu pemimpin yang bukan sukses karena rekayasa pencitraan, tetapi
pemimpin yang bisa mewujudkan aspirasi terhadap impian dari yang di pimpinnya
<re : masyarakat Indonesia>, di barengi dengan kemampuan yang memadai,
serta karakter yang berprinsip pada kaidah islam. Memang dibutuhkan pemikiran
yang logis, serta profiling figure dari sumber yang kredibel untuk mendapatkan
informasi yang memiliki intensitas kebenarannya tinggi, sehingga dari informasi
yang di peroleh dapat disimpulkan apakah pemimpin itu merupakan pemimpin yang
dapat mewujudkan impian-impian masyarakatnya atau tidak. Semua kembali pada
pemikiran masing-masing.
Segala puji
hanya bagi Allah. Segala bentuk kebenaran hanya milik Allah, Allah mengetahui
terhadap sesuatu yang tidak kamu ketahui.
Pic Resources :

0 comments:
Post a Comment